Selasa, 26 Maret 2013

Nostalgia Langit dan Bumi


Membaca sajak-sajak Ria AS oleh Halimi Zuhdy
Sebagian orang berpendapat bahwa bagi penyair menulis atau menciptakan sebuah sajak sama dengan membangun citra (images) lewat bahasa yang menjadi pilihannya. Melalui satuan-satuan bahasa, kata, frasa, atau unsur lingual lainnya, penyair mencoba mengukuhkan pengalaman empirik indrawinya yang kemudian dikomunikasikan kepada para pembaca. Dalam hal ini, antara penyair yang satu dengan yang lain akan memiliki derajat yang tidak sama, baik dalam hal menggunakan sumber itu maupun dalam hal pendayagunaan dalam sajak.
Puisi-puisi Ria AS menggambarkan berbagai peristiwa, baik peristiwa batin atau peristiwa dahir, peristiwa batin yang saya maksud adalah percintaan, perenungan, releguitas, pergolakan hati dan pemikirannya. Sedangkan peristiwa dahir , seperti ketimpangan sosial dan ketidakadilan lainnya.
Antologi puisi yang berjudul “Ada Hujan Turun Pelan-Pelan” ini adalah rekaman peristiwa yang baik oleh Ria AS. Dari judulnya, kita bisa melihat rekaman kompleksitas peristiwa kehidupannya yang ia citrakan lewat hujan. Ria AS banyak mengambil sumber inpirasi puisinya dari derai -derai hujan yang mengecupnya. Hujan ia anggap sebagai peristiwa yang tidak biasa : sebuah kenangan, cinta, penjelmaan, takdir, nafas, detak, aroma, petaka, dan reinkarnasi.
“Hujan” pelepasan kerinduan dan kasih sayang, kerinduan langit pada bumi dipertemukan lewat hujan. Bumi yang kering, tandus, dan bahkan mengeras membatu, selalu meronta-ronta ingin bertemu melepas rindu dengan belahan jiwanya. Hujan pun diturunkan oleh Allah sebagai obat rindu. Bumi pun kemudian hamil dan mengeluarkan berbagai macam kehidupan. Bahkan pertemuan itu, bukan saja memberikan kenikmatan kepada tanah. Bumi pun menyajikan keberkahan kehidupan yang luar biasa. Hamparan padang luas savana dan kesuburan tanah menjadi sarana kehidupan bagi makluk hidup lainnya (taufiq). Dulu bumi dan langit pernah bersatu, setelah keduanya berpisah pun dipertemukan dengan tetesan hujan itu.
Ria AS sangat menikmati sekali dengan kata hujan ini, dalam beberapa judul puisinya : Air Hujan, Dongeng Hujan, Hujan dan Pelangi, Hujan Tanpa Payung, Musim Penghujan, Tanpa Hujan, tentang Hujan Kita bisa menikmati imagery dan atmosphere Ria AS.
Ria AS mengungkapkan sensorisnya ke dalam kata hingga terjelma gambaran suasana yang konkrit. Ungkapan itu menyebabkan pembaca seolah-olah melihat suasana, mendengar sesuatu atau turut merasakan, ini kekuatan imagery Ria AS dalam antologi ini. Seperti dalam dongeng Hujan yang ia jadikan Judul Antologi /dari kotak langit/ada hujan turun pelan-pelan/menjelma udara/menjelma cinta/menjelma kita/.
Setelah “Hujan” ia mengiringi kata-kata “Turun Pelan-Pelan”, sungguh saya menikmati kata-kata ini, ia gambarkan hujan itu tidak egois, tidak membawa petaka, tidak memberikan duka, tapi ia selalu memberikan rahmat, tinggal bagaiamana kita menikmati turunnya hujan itu, walau kadang deras tapi ia seperti sedang melambai, melambaikan hati untuk merengkuh kesejukannya. Kata “pelan-pelan” bukan juga kemalasan, keterlambatan dan kemunduran, tapi ia berusaha untuk menata turunnya hujan ke tempat mana saja yang sedang membutuhkan. Seperti puisinya yang berjudul “Doa Air Hujan” /kita ada pada hujan/ada pada sisa tetes air yang meresap lambat/ke dalam tanah berumput/ada pada tanah air yang mengalir/ada pada aliran sungai laut utara.....dan baris terakhir /lalu kita kembali menjadi hujan/semoga kita juga ada pada salah satu takdir Tuhan. Walau pemilihan diksinya sederhana tapi Ria AS mampu memberikan amanah (message) yang jelas dan konkrit. Ia sangat baik dalam membangun subjec matter-nya. Dan kelebihan Ria AS di sisi ini. Walau beberapa kritikus puisi menganggap, semakin pelik dan kronik sebuah puisi, dan semakin tidak jelas, maka puisi itu semakin baik. Tetapi menurut saya, peliknya bukan pada ketidakjelasan message, karena setiap kata yang diungkap penyair, menimbulkan seribu interpretasi, dan juga memeberikan message yang berbeda, dari puisi yang sederhana sampai puisi yang mendunia. Maka ukuran baik dan tidaknya bisa kita lihat dari struktur luar dan struktur dalamnya. Walau pun di sana masih terdapat pandangan yang berbeda.

****

Puisi adalah kelahiran yang sempurna dari hati, pikiran dan khayal. Meskipun selalu tampak keanehan-keanehan dan penyimpangan (distorting) dari bahasa yang lazim dipergunakan, namun dengan keanehan itulah, puisi dapat membebaskan dirinya dari keakraban dan kungkungan, sehingga ia mampu menunjukkan realitas yang sebenarnya. Kelahirannya membuat rongsokan baru, suasana baru, penciptaan baru (creating) pencerahan, dan revolusi pikiran, batin dan diri. Dalam puisi Pudar, Ria AS mampu mengulah kata menjadi sebuah realitas baru/ijinkan aku berteduh/atas kebeningan matamu/biar aku memudar/dalam semediku/dan melafadzkan bahasamu/dialiran nafas sendumu/ Seperti juga yang terdapat dalam dua puisi lainnya : Hanya ada satu malam, Reinkarnasi dan Pertemuan.

****
Puisi Ria AS mengandung rima yang cukup indah, ia mengolah kata bukan hanya memberikan amanah, tapi ia mampu memberikan musik-musik dalam setiap barisnya, seperti puisi yang berjudul “Mimpi Kalimati, Lagu Kampung Cemara, Kesepian Nyata, Buta”, ada keserasian dalam kalimat, membacanya seperti mendendangkan lagu, tapi ia tidak tenggelam dengan pemujaan ritme, ia memberikan kandungan kata-kata demikian baik, sehingga kata-kata itu terbungkus rapi. Puisi ialah pelahiran manusia seluruhnya, manusia, agung dengan pikiran dan perasaannya. Tapi, puisi menjadi hambar dan tak pernah punya taring, jika ia hanya mengungkapkan dengan kata-kata klise, berbunga-bunga, namun tak ada rasa yang kuat dalam setiap kata, puisi menjadi. Hampa! Puisi “Bulan Penuh” dan “Rindu-Rindu Yang berjatuhan” mungkin menjadi contoh bagaimana WMA mempermainkan perasaannya dengan untaian kata indah.

*) temui di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar